Aset Hijau Jadi Kunci Ekonomi Masa Depan, Pemerintah Dorong Perdagangan Karbon Internasional
Indonesia akan segera memulai langkah besar dalam upaya global melawan perubahan iklim melalui peluncuran perdagangan karbon internasional yang dijadwalkan pada 20 Januari 2025. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menjelaskan bahwa perdagangan karbon ini adalah bagian dari komitmen negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mempercepat upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Langkah ini juga bertujuan memperkuat inovasi dan membuka peluang kerjasama internasional.
“Perdagangan karbon merupakan bagian dari strategi untuk mewujudkan komitmen kami dalam mencapai target pengurangan emisi, sekaligus mendorong tercapainya tujuan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia. Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan memasukkan nilai ekonomi karbon dalam berbagai mekanisme, termasuk perdagangan karbon,” ungkap Hanif pada acara persiapan peluncuran perdagangan karbon internasional di Jakarta Pusat pada Kamis, 16 Januari 2025.
Dalam implementasinya, Indonesia akan memanfaatkan sejumlah instrumen ekonomi seperti pungutan karbon, pajak karbon, serta pembayaran berbasis kinerja. Selain itu, pengembangan mekanisme baru juga diharapkan akan terus berlanjut mengikuti kemajuan teknologi. Menurut Hanif, perdagangan karbon bukan hanya berfungsi sebagai mekanisme pasar, tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan insentif yang mendorong setiap pihak dalam mengurangi emisi, sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru.
Perdagangan karbon ini dianggap sangat strategis untuk mencapai tujuan Indonesia dalam mencapai emisi nol bersih pada 2060, seiring dengan kewajiban negara di bawah Perjanjian Paris. Untuk memastikan kelancaran pelaksanaannya, Indonesia telah merumuskan sejumlah regulasi, termasuk revisi Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022 yang mengatur tata cara pelaksanaan perdagangan karbon.
Hanif juga menyoroti sektor Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Lahan (FOLU) sebagai salah satu yang memiliki potensi terbesar dalam menyerap karbon. Indonesia, kata Hanif, memiliki peluang luar biasa untuk memanfaatkan ekosistem alam yang ada melalui proyek-proyek reboisasi dan konservasi yang tidak hanya berkontribusi pada pengurangan emisi tetapi juga memperbaiki ekosistem dan mendorong kegiatan ekonomi berkelanjutan.
“Proyek-proyek reboisasi dan upaya konservasi yang inovatif akan mengubah aset hijau kita menjadi mesin perubahan, yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi jangka panjang bagi negara,” tambah Hanif. Ia juga berharap bahwa perdagangan karbon akan membuka jalan bagi peningkatan investasi hijau, mendorong kemajuan teknologi, serta memperkuat hubungan kemitraan dengan negara-negara lain.
Untuk menjamin keabsahan transaksi, setiap sertifikat yang dikeluarkan dalam perdagangan karbon internasional akan diverifikasi secara ketat, memastikan tidak ada klaim ganda atau kesalahan dalam perhitungan karbon. Dengan langkah strategis ini, Indonesia berharap dapat berperan aktif dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dengan menggunakan mekanisme pasar yang efektif dan berkelanjutan.