PKP Laporkan Dugaan Korupsi Rp 2,8 M dalam Proyek Rumah TNI/Polri ke Kejati Maluku

Proyek pembangunan 20 unit rumah khusus untuk anggota TNI/Polri di Maluku mengalami permasalahan setelah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Balai Pelaksana Penyedia Perumahan (BP2P) Maluku ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi. Akibat kasus ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 2,8 miliar.

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) telah menyerahkan kasus bertajuk “Pembangunan Rumah Khusus Maluku IV” yang ditangani oleh Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan Provinsi Maluku kepada Kejaksaan Tinggi Maluku di Ambon. Dokumen tersebut diterima secara langsung oleh Asisten Pidana Khusus Kejati Maluku.

Inspektur Jenderal PKP, Heri Jerman, menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari program Serahkan Koruptor (SeKOP), yang bertujuan untuk menegakkan prinsip integritas, transparansi, serta akuntabilitas guna menciptakan pemerintahan yang bersih dari tindak pidana korupsi.

“SeKOP berfungsi untuk memindahkan objek tertentu dari satu tempat ke tempat lain, dalam hal ini diartikan sebagai upaya membersihkan instansi dari praktik korupsi sebelum ditindak oleh aparat penegak hukum (APH),” ujar Heri dalam keterangan tertulis pada Sabtu (1/3/2025).

Program ini juga merupakan tindak lanjut dari instruksi Menteri PKP, Maruarar Sirait, yang menegaskan pentingnya tindakan tegas terhadap pelaku korupsi.

Kementerian PKP menuturkan bahwa proyek ini sudah berjalan sejak 2016. Sebanyak 20 unit rumah khusus bagi anggota TNI/POLRI pasca konflik dibangun di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat dengan anggaran sebesar Rp 6,1 miliar.

Dalam proses pembangunannya, Satuan Kerja Perumahan Provinsi Maluku telah mencairkan dana sebesar Rp 5,87 miliar atau 95 persen dari nilai kontrak kepada PT Polawes Raya. Namun, pencairan tersebut diduga tidak sesuai dengan progres fisik yang tercatat dalam laporan CV Prima Nurkele Konsultan. Laporan itu menunjukkan bahwa realisasi pembangunan baru mencapai 45 persen, namun dalam dokumen pembayaran dimanipulasi seolah-olah telah selesai 100 persen.

“Siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini telah kami rekomendasikan kepada Kejati Maluku untuk ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Heri.

Dari hasil penelusuran tim Inspektorat Jenderal, ditemukan berbagai dokumen terkait seperti termin pembayaran, kontrak kerja dengan PT Polawes Raya, surat pemberitahuan dari manajemen konstruksi CV Prima Nurkele Consultant, serta dokumen persetujuan hibah. Semua dokumen tersebut telah diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Maluku sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut.

Selain itu, diketahui bahwa Kepala SNVT secara aktif memberikan instruksi kepada Bendahara Indrawati Madura untuk mencairkan dana kepada PT Polawes Raya. Direktur CV Prima Nurkele Consultant, Janes Nanulaitta, juga mengonfirmasi bahwa pencairan dana dilakukan tanpa memperhitungkan progres pembangunan yang sebenarnya.

Berdasarkan hasil investigasi, tim Inspektorat Jenderal menyimpulkan bahwa kasus ini melibatkan sejumlah oknum pegawai SNVT Maluku dan kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut. Dugaan korupsi ini menyebabkan negara mengalami kerugian hingga Rp 2,8 miliar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *