Penjelasan Mengenai Vonis Lepas dalam Kasus Suap Hakim Rp 60 M di Kasus Korupsi CPO
Masyarakat kembali dikejutkan dengan kasus suap yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta. Arif diduga menerima suap senilai Rp 60 miliar dan berperan dalam pengaturan vonis lepas terhadap tiga terdakwa kasus korupsi ekspor CPO (crude palm oil) atau bahan baku minyak goreng. Apa yang dimaksud dengan vonis lepas, dan bagaimana hubungannya dengan kasus suap ini?
Menurut informasi yang dirangkum dari detikcom pada Minggu (13/4/2025), Kejaksaan Agung (Kejagung) menggelar konferensi pers pada Sabtu (12/5) malam terkait kasus suap yang melibatkan vonis lepas terhadap tiga perusahaan korporasi dalam kasus korupsi CPO. Tersangka dalam kasus ini antara lain Arif, Marcella Santoso, dan Ariyanto selaku pengacara, serta Wahyu Gunawan, panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam konferensi pers tersebut, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa penyidik menemukan bukti adanya suap yang diduga diberikan oleh Marcella Santoso dan Ariyanto kepada Arif sebesar Rp 60 miliar.
Marcella dan Ariyanto diketahui merupakan pengacara yang mewakili tiga perusahaan dalam kasus korupsi minyak goreng, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Pada 19 Maret 2025, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan vonis lepas kepada ketiga perusahaan tersebut, meskipun jaksa sebelumnya menuntut pembayaran uang pengganti yang sangat besar.
Pengusutan lebih lanjut oleh Kejaksaan Agung mengungkapkan adanya praktik suap di balik vonis lepas tersebut. Marcella dan Ariyanto diduga memberikan suap melalui Wahyu Gunawan untuk memengaruhi keputusan hakim, Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mengenai vonis lepas, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat tiga jenis putusan dalam pengadilan: putusan bersalah, putusan lepas, dan putusan bebas. Meskipun keduanya—putusan lepas dan bebas—sama-sama membebaskan terdakwa, keduanya memiliki perbedaan mendasar.
Putusan bebas dijatuhkan jika terbukti bahwa kesalahan terdakwa tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan dalam proses persidangan. Sebaliknya, putusan lepas terjadi ketika terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur untuk dianggap sebagai tindak pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, terdakwa yang diputus lepas dibebaskan dari segala tuntutan hukum meskipun perbuatannya terbukti.
Hal ini berarti vonis lepas dapat membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, meskipun dalam putusannya hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan itu terbukti.