Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menilai bahwa usulan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun penjara di pulau terpencil bagi koruptor dapat menjadi langkah strategis dalam merevitalisasi sistem pemasyarakatan yang mengalami kelebihan kapasitas. Saat ini, terdapat 525 lapas dan rutan di 33 kanwil pemasyarakatan yang mengalami kelebihan penghuni lebih dari 100 persen. Oleh karena itu, menurut Willy, gagasan tersebut perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya sebagai hukuman bagi koruptor tetapi juga sebagai bagian dari reformasi pemasyarakatan.

Ia menyebutkan bahwa dari sekitar 17.000 pulau di Indonesia, beberapa dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan lapas baru. Pulau-pulau kecil di Aceh yang berjumlah 363 atau 229 pulau di Sumatera Utara bisa menjadi alternatif. Sementara itu, untuk mengurangi kepadatan di Pulau Jawa, Lampung atau Nusa Tenggara Barat juga dapat menjadi lokasi potensial. Dengan adanya lapas di pulau terpencil, diharapkan kondisi pemasyarakatan menjadi lebih manusiawi, baik bagi koruptor maupun warga binaan lainnya.

Namun, Willy menekankan bahwa pemindahan narapidana ke pulau terpencil tidak boleh sekadar membatasi kebebasan fisik mereka tanpa disertai program pembinaan yang efektif. Prinsip pemasyarakatan harus tetap menjadi prioritas agar para narapidana dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat setelah menjalani hukuman. Ia juga mengingatkan bahwa hukuman tambahan di luar putusan pengadilan tidak boleh terjadi dalam implementasi kebijakan ini.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, Willy meminta kementerian teknis segera melakukan kajian komprehensif agar kebijakan yang diambil tidak hanya efektif dalam mengatasi overkapasitas, tetapi juga tetap menghormati hak asasi manusia dan tujuan pemasyarakatan yang lebih luas. Menurutnya, karena ide ini berasal langsung dari Presiden, sudah sepatutnya kementerian terkait segera mengambil langkah konkret dalam merancang implementasinya.