Krisis Pendidikan? Pemangkasan Anggaran Ancam Kualitas, Akses, dan Kesejahteraan Guru
Pemangkasan anggaran pendidikan berpotensi membawa dampak serius bagi kualitas dan akses pendidikan di Indonesia. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat menurunkan mutu pendidikan secara keseluruhan.
“Pemotongan anggaran akan berdampak pada rendahnya kualitas guru, buruknya fasilitas pendidikan, serta terbatasnya akses terhadap sumber belajar. Akibatnya, kualitas pendidikan nasional akan merosot,” ujar Ubaid dalam pernyataan resminya pada Rabu, 12 Februari 2025.
Menurutnya, pemangkasan ini akan memengaruhi tiga kementerian utama, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), serta Kementerian Agama (Kemenag). Jika pemotongan ini mengurangi anggaran wajib 20 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945, maka pemerintah dianggap telah melanggar konstitusi.
“Mandatory spending sebesar 20 persen harus tetap dijaga, bukan justru dikurangi,” tegas Ubaid.
Salah satu dampak terbesar dari pemangkasan ini adalah meningkatnya angka putus sekolah. Banyak siswa dari keluarga kurang mampu bergantung pada bantuan pemerintah untuk biaya pendidikan. Jika subsidi ini berkurang, mereka berisiko kehilangan kesempatan belajar.
Kebijakan pemangkasan anggaran ini berawal dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dan Pelaksanaan APBN/APBD, yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 22 Januari 2025. Inpres tersebut menargetkan efisiensi sebesar Rp 306,6 triliun, termasuk pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) senilai Rp 50,5 triliun. Kementerian Keuangan pun merespons dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, yang menyebabkan pemangkasan anggaran pendidikan hingga Rp 8 triliun.
Selain mengancam akses pendidikan di daerah terpencil, pemangkasan ini juga berpotensi menyebabkan pemecatan massal guru honorer. Kebijakan serupa pernah terjadi pada 2024, ketika ribuan guru honorer kehilangan pekerjaan secara sepihak. Jika anggaran pendidikan kembali dipangkas, mereka kembali menghadapi risiko serupa karena status hukum mereka yang lemah.
Pemangkasan ini juga akan memperburuk kesenjangan pendidikan. Anak-anak dari keluarga mampu dapat mengakses pendidikan berkualitas, sementara anak-anak dari keluarga kurang mampu terpaksa mengandalkan sekolah negeri yang daya tampungnya terbatas. Banyak dari mereka yang akhirnya harus memilih sekolah swasta dengan biaya mahal.
Ubaid mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang kebijakan pemangkasan ini.
“Pendidikan adalah investasi bagi masa depan bangsa. Jangan sampai keputusan ini justru merusak masa depan anak-anak Indonesia,” ujarnya.
JPPI juga meminta pemerintah lebih memperhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah, memperbaiki infrastruktur pendidikan yang rusak, meningkatkan kesejahteraan guru honorer, serta menekan biaya pendidikan yang semakin mahal.