Polri Didesak Perketat Penggunaan Senjata Api Setelah Kasus Penembakan Tragis
Jakarta – Kasus-kasus penembakan yang melibatkan anggota Polri dalam beberapa minggu terakhir memicu berbagai pihak untuk mendesak adanya evaluasi terhadap prosedur penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Kasus tragis pertama terjadi di Solok Selatan pada 21 November 2024, di mana Kabag Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar menembak rekan sejawatnya, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil Anshar, yang mengakibatkan kematian. Tidak lama setelah itu, sebuah kejadian mengerikan kembali terjadi, kali ini di Semarang, di mana tiga siswa SMKN 4 Semarang ditembak oleh Aipda Robig Zaenudin dari Satuan Reserse Narkoba Polres Semarang. Salah satu siswa, Gamma Rizkynata Oktavandy, meninggal dunia, sementara dua lainnya terluka.
Kedua insiden ini memicu desakan dari berbagai kalangan agar Polri lebih ketat dalam mengatur penggunaan senjata api oleh anggotanya. Kritik ini semakin kuat setelah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa evaluasi terhadap penggunaan senjata api harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip hak asasi manusia (HAM). Usman menekankan pentingnya penegakan hukum yang transparan dan adil, tanpa melibatkan hukuman mati. Ia juga mendorong DPR RI untuk menggunakan hak angket atau interpelasi guna menyelidiki tanggung jawab kebijakan polisi dalam penanganan kasus kekerasan yang diduga berhubungan dengan kebijakan represif.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, turut mengungkapkan keprihatinannya. Sahroni menegaskan bahwa meskipun anggota Polri membutuhkan senjata api untuk menghadapi ancaman kriminalitas yang tinggi, seperti begal dan pencurian, penggunaan senjata api harus diawasi dengan ketat. Ia mengusulkan agar polisi yang diberi akses untuk membawa senjata api harus melewati serangkaian pemeriksaan psikologis yang ketat untuk memastikan bahwa mereka stabil secara mental dan profesional dalam menjalankan tugas.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Gufron Mabruri, juga mendesak agar evaluasi penggunaan senjata api masuk dalam rencana strategis Polri untuk tahun 2025-2045. Ia mengingatkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan senjata api oleh polisi tidak hanya menjadi tanggung jawab internal Polri, namun juga harus melibatkan pengawasan eksternal, termasuk media dan masyarakat sipil.
Di sisi lain, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Inspektur Jenderal Abdul Karim, menanggapi desakan tersebut dengan mengatakan bahwa peraturan mengenai penggunaan senjata api oleh Polri sudah jelas. Namun, ia mengakui bahwa yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan penerapannya di lapangan. Dalam peraturan yang tercantum dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, senjata api hanya boleh digunakan dalam kondisi yang sangat mendesak, seperti untuk melindungi diri dari ancaman yang membahayakan jiwa.
Seiring dengan berkembangnya perdebatan ini, wacana tentang peningkatan pengawasan dan revisi prosedur penggunaan senjata api oleh Polri terus mendapat perhatian publik. Kekuatan dan akuntabilitas aparat dalam menjalankan tugas kepolisian menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa senjata api tidak disalahgunakan dan hanya digunakan dalam keadaan yang benar-benar diperlukan demi menjaga keselamatan dan ketertiban masyarakat.